Saturday, September 29, 2012

Proklamasi



Indonesia. Negaraku yang serasi
Mengumandangkan proklamasi

Bukan sebuah fantasi
Bukan juga karena tradisi

Bukan pula karena depresi
Ataupun sekedar resitasi

Proklamasi

Adalah perjuangan yang terealisasi
Disertai obsesi
Untuk negara yang suksesi
Dan supremasi

 
Kerinduan akan bangsa yang tinggi edukasi
Tanpa buruk reputasi
Dan bebas dari korupsi

Proklamasi
Bukan manifestasi
Atau seumpama rekomendasi
Bukan hanya restorasi
Tapi globalisasi

Proklamasi
Menjadi refleksi
Untuk sosialisasi negara berprestasi
Bukan sekedar transisi
Dari perbudakan kepada revolusi

Bukan juga sekadar okupasi
Tapi kebebasan para generasi
Dari kungkungan problema tanpa solusi.

Kopi yang gagal dan Roti yang tertunda



Apakah setiap kali penutupan bulan, aku harus mengalami sesuatu yang dibilang, lucu, aneh, sedih dan menggelitik hati ataupun memalukan? Atau ceritaku dibawah ini merupakan suatu pengalaman atau kenangan yang mungkin tak terlupakan? Aku bahkan malu untuk mengingatnya kembali, bahkan sampai kau tahu cerita inipun sungguh memalukan.

Kau bayangkan, pagi yang dingin di rumah Mirda, tempat aku menumpang sementara, sementara tapi sudah hampir setengah tahun. Ibu memintaku untuk tetap dirumahnya. Pagi yang membuat aku dan Mace teman sekamarku enggan untuk turun dari tempat tidur. Tapi perut ini tidak bisa diajak kompromi, tuts-tuts piano berbunyi mengimbangi rasa dingin yang terlalu menandakan perutku yang keroncongan. Aku harus memilih, turun dari tempat tidur untuk mendapatkan makan tapi dengan kedinginan atau tetap ditempat tidur yang hangat tapi lapar. Aku tidak mau dua-duanya. Namun, wajah ibu Mirda terbayang-bayang, seperti melewati kuburan dalam gelap, aku takut kepada ibu. Belum bekerja sudah cari makan, tapi apa mestinya yang kukerjakan pagi itu. tak ada. Tapi... akh, sudahlah Ibu biasanya marah kepada Mace, bukan kepada aku. Dalam kekalutan, dari dalam selimut aku mendengar suara Mace “Lid, aku lapar”. Setiap manusia diberikan pilihan nyata, ia harus memilih yang paling memungkinkan untuk dilakukannya. Demikianlah aku pagi itu. Karena aku takut lambungku sakit, aku bangun dengan tergesa-gesa, lalu turun ke lantai bawah, dalam kondisi lapar aku menuju ke Toilet, sekaligus memastikan apakah Ibu sudah berangkat atau belum. Setelah melihat Ibu sedang berias wajah untuk mengontrol proyek-proyeknya, lalu kembali naik ke atas melintasi anak tangga dengan cepat.

Ya, ibu akan ke kantor pagi ini. Sesuai kebiasaannya, Ibu tidak akan sarapan, karena jadwal kerjanya yang padat dan hampir setiap malam Ibu kembali ke rumah pk.22:00 wita. Ia selalu sarapan di luar.
“Betapa sibuknya Ibu”. Aku bergumam, sambil melanjutkan menaiki anak tangga. Sedangkan di kamar aku temukan Mace dengan posisi yang berbeda, ia lagi tersenyum tanpa menyadari kalau aku mengamatinya. Dari senyumnya, seperti seorang anak remaja yang sedang menemukan sebuah cintanya.

“Ada apa pagi-pagi senyum-senyum sendiri-sendiri?” tanyaku seperti orang aneh. Tanpa ragu Mace memperlihatkan SMS dari kekasihnya yang sedang merantau di Kota Pahlawan-Surabaya itu. Aku baca, kata demi kata penuh dengan kemesraan (Pantas aja, Mace sedang kesetrum asmara). Dan bikin aku jadi kangen sama sang pangeran. . . (so cweet). Ya, karena SMSnya bukan buatku, aku kembalikan HP sambil memegang perut yang sudah mengaduh dari pagi. Kenapa tidak diisi makanan sejak semalam? Marahku pada diriku sendiri. Andakaikan perutku punya mulut, ia akan tertawa dan berkata “tugasku bukan untuk memberi tapi menerima”. Iya tapi kau memberi isyarat kalau lagi lapar.

Ce, aku lapar nih” kataku memelas seolah Mace juragannya. Memang benar sih, dirumah ialah yang tukang masak, jadi wajarlah aku memberitahukan padanya. Ia tidak menggubris perkataanku, ia lebih peduli kepada HP, seperti orang gila kepada boneka kesayangannya.  Akhirnya aku membenarkan kalau orang sedang jatuh cinta, perutpun tidak dipedulikan. Kata orangtua dulu, sudah kenyang dengan SMS dari si arjuna. Melihat tingkah aneh si Mace,  dan tak tahan lagi aku turun melewati anak-anak tangga itu satu per satu tanpa memberikan efek suara kaki. Pertama-tama aku melihat kursi depan cermin, ibu tidak ada lagi. Aku melihat kamar mandi, pintu sudah tertutup dan lampu sudah mati, lalu aku melihat lampu kamar ibu, yang juga sudah dimatikan. Memastikan semua aman, aku langsung ke dapur, “ternyata Ibu sudah berangkat ke kantor” pikirku..
Wah, ada tempe, sambal, perkedel jagung, telur. Nikmat rasanya, aku makan lahap, karena sudah kelaparan”.


Eh, ada suara kaki Mace turun dari lantai atas. Matanya sudah melanglang buana ke dapur. Rupanya dia belum kenyang dengan SMS. Ternyata cinta tidak bisa bertahan lama ya. Asal tahu saja, seperti seekor anak itik takut kepada kucing, begitulah aku dan Mace takut kepada ibu. Ibu tidak galak, tapi pada saat ia lapar dan tidak ada makanan ia akan marah, dan mencari semua bahan makanan, memeriksanya entah untuk apa.
“Kalau tahu tidak ada yang masak, lebih baik uangnya untuk yang lain saja daripada beli beras, dan ibu makan diluar”. Akh ibu, masih ada Erson dan Verna anak ibu yang mau makan dirumah.

Pagi yang dingin itu, kami putuskan untuk minum kopi, kebetulan Ibu tidak dirumah. Aku enggan jika ikut-ikutan ibu  minum kopi. Di rumahku, aku biangnya minum kopi, seberapa tamu yang hadir ke rumah kami, sebanyak itu jumlah gelas kopi yang harus kuminum. Tanpa ada yang melarangku, kecuali diriku sendiri. Jika kehabisan tepung kopi aku paling malas untuk menggoreng dan mengayak. Tetapi disini, aku tidak tahu kenapa enggan kepada Ibu Mirda. Bukan hanya aku, tetapi Mace yang sudah bertahun-tahun  tinggal di rumah Ibupun enggan. Karena itu, berhubung Ibu sudah keluar, kami bebas menikmati keinginan kami yang terbungkus rapi sejak di rumah Ibu.

Kami melihat, ada tepung kopi, gula dan di lemari ada roti. Makin nikmat, jika di suguhkan pagi seperti ini. Apalagi sudah beberapa bulan tidak menikmati rasanya kopi. Hampir lupa. Karena itu dengan semangat yang tak biasa disertai rasa takut ketahuan Ibu, kami berbagi tugas. Sementara aku yang sudah ahli, membuat campuran gula dengan kopi, sedangkan  Mace, sambil  bersih2 rumah sekaligus ia memantau pintu rumah depan agar tidak ada “orang asing” yang masuk rumah apalagi Ibu. Biasanya adik Ibudatang tiba-tiba dan selalu melaporkan ibu apa saja yang kami lakukan. Waktu menunjukan pk.09:10 wita. Satu hal yamg aku kami sama-sama tidak tahu. Ternyata Ibu tidak langsung pergi proyek tapi ke bank terlebih dahulu. Kopi yang hendak diminum, diletakan di atas meja. Karena perasaan takut,  tak di sangka pintu depan terbuka dengan sendirinya, tanpa suara pintu berbunyi, tapi firasatku buruk, lalu kuberikan isyarat kepada Mace untuk memperhatikan siapa gerangan yang datang, sedangkan aku mengintip lewat aquarium besar yang membatasi ruang depan dengan ruang belakang. Kau juga pasti tak menduga ini kan? Mace dengan santainya membersihkan ruangan bukannya menyambut Ibu malah lari ke dapur entah melakuan apa. Lalu ia kembali ke ruang depan untuk memastikan siapa yang datang. Benar saja, Ibu yang kembali ke rumah, entah untuk apa lagi. Tidak biasanya seperti ini. Karena itu, aku kembali ke wastafel membersihkan beberapa piring kotor, aku perhatikan wastafel penuh dengan bercak-bercak hitam, yang aku tahu kemudian adalah kopi. Setelah tahu itu kopi, aku balik badan ke meja makan, lalu mataku mencari-cari dua gelas kopi yang sudah kubuat. Tidak ada.

Akhirnya yang membuat aku ketawa terpingkal-pingkal adalah ternyata Mace yang spontan masuk dapur, dan menumpahkan kopi-kopi yang sama sekali belum sempat dinikmati ke dalam washtafel. Gelas-gelas sudah tidak karuan lagi, kopi udah tidak ada lagi. Wah, gagal ni rencana!

Memangnya Ibu marah, kalau aku minum kopi? Masa ibu tega marah kalau kopinya sudah dibuat?”, aku berpikir lama. Tidak mungkinlah, Ibu tak sekejam Ibu tiri. Kau tahu? Kalau sampai Ibu tahu, Ibu akan sebeng terhadap kami, wajahnya seperti kepiting rebus yang keriput dan pasti ada saja yang salah dengan pekerjaan kami di rumah. Akh, apakah aku terlalu menduga hal buruk itu? aku tidak mengada-ada, sudah sering terjadi demikian. Kami lebih memilih untuk tidak melihat kepiting rebus daripada apa adanya.

Ibu tidak menduga sama sekali, ia masuk ke kamarnya, setelah melihat wilayah dapur sejenak. Lalu ia beristirahat beberapa menit. Belum sempat menikmati tidurnya, Ibu pergi lagi setelah waktu menunjukan pkl. 11:20 wita, mengurus  proyek-proyeknya. Waktu ini menunjukkan betapa kami sangat lapar. Dan aku kesal sekali pagi ini, kopinya sudah dibuang, toh Ibu juga tidak masuk dapur. Dari sini aku belajar hidup apa adanya, kalau suka jawab ‘ya’, kalau tidak suka jawab ‘tidak’. Hanya ada dua hal ini.

Setelah Ibu pergi, kami bebas untuk berkreasi karena Ibu tidak mungkin untuk balik lagi. Mace kembali lagi ke dapur untuk buat telur mata sapi, sambil senyam senyum, menceritakan kisah hubungannya dengan kekasihnya itu.  Ia mengambil dua lembar roti tawar, pas buat kami berdua.  Dia goreng telur dan aku mengolesi mentega roti itu dan siap dipanggang. Karena kejadian kopi yang gagal, pintu tak lupa kami kunci, jadi kalau ada yang datang tidak langsung melihat apa yang kami lakukan, minimal ada persiapan atau ancang-ancang. Saat aku tertawa dengar cerita cintanya Mace, Ibu sudah di samping meja makan dan mengeluarkan pertanyaan, buat apa kalian? Tatapannya seperti anak panah yang dibidik ke sebuah sasaran. Dan akulah sasaran itu. belum sempat membalas ibu sudah buru masuk ke kamar.

“Ce, ibu datang” bisikku kepada Mace. Saking ia kaget, ia matikan kompor sementara telur belum matang sebelah. aneh. Ia lalu sedikit teriak tapi suara berbisik.
“Buang buang buang”
“Apanya mau dibuang?. Belum tahu apa maksudnya sudah terdengar suara ibu memanggil Mace. Dari jenis nada suara yang dia gunakan, sepertinya ibu tahu apa yang sedang kami perbincangkan.

Eh. . buang buang...  sampahnya. Katanya sambil menunjuk-nunjuk roti dan selai ditanganku. Setahuku itu akan dibuang ke perut bukan ke tempat sampah. Akh, Mace ada-ada saja. Tapi dengan gerakan lincahnya ia membuang roti itu di atas kulkas. Yakin tidak ada yang tahu, Mace berlari menuju ke kamar Ibu. Belum sempat bertindak,  ibu sudah keluar dari kamar, ia lalu buka kulkas (rotinya kan di atas kulkas, wah bisa ketahuan ni, waduh gimana donk. .  please).. Syukuuuur. . . ibu Cuma mengambil minuman dingin.

Tuesday, September 25, 2012

Sanobar-i

Kata Sanobar berasal dari nama sebuah pohon yang sangat berharga. Pohon ini pertama kali disebut dalam Alkitab untuk membangun Bait Allah. Raja Salomo meminta Kayu Aras dan Sanobar kepada raja Hiram. Raja Salomo membangun pintu besar Bait Allah dengan papan dari pohon Sanobar. Setelah Salomo selesai mendirikan rumah itu, ia melapisi dinding rumah itu dari dalam dengan papan kayu aras; dari lantai sampai ke balok langit-langit dilapisinya dengan kayu aras, tetapi lantai rumah itu dilapisinya dengan papan kayu sanobar (I Raja-raja 6:15). Memang ada empat pohon yang dipakai raja Salomo untuk membangun Bait Allah, tetapi pohon Aras dan Sanobar-lah yang paling banyak digunakan.
Sanobar, dalam bahasa Ibrani berosy, berotim. pohon ini dari jenis Pinus  yang daunnya selalu hijau, tumbuh di bukit-bukit Palestina dan Libanon, sebagai lambang kesuburan (Yes. 41: 19; 55:13).  Kayunya baik untuk bangunan, digunakan untuk Baik Salomo (I Raja-raja 5:8), kapal-kapal (Yehezkiel 27:5), alat-alat musik (2 Sam. 6:5). Pohon Sanobar yang menghijau (Hosea 14:8) mungkin Pinus pinea, bijinya dapat dimakan.
Kayu jenis Pinus/ Cemara (Cupressus sempervirens) mempunyai dedaunan berwarna hijau tua dan cabang-cabang yang tegak ke atas, agak mirip cabang-cabang poplar Lombardi. Rata-rata tingginya 9 sampai 15 m, tetapi kadang-kadang bisa mencapai 24 m. Pinus/ Cemara umumnya dibudidayakan di seluruh Palestina; beberapa spesimen ditemukan tumbuh liar di Gilead, Edom, dan lereng-lereng G. Lebanon. Kayunya memiliki warna kemerah-merahan yang marak, baunya wangi, dan berdaya tahan tinggi. Di Yesaya 41:19, Allah berjanji bahwa pohon-pohon yang biasanya tumbuh di tanah yang subur juga akan Ia buat tumbuh subur di daerah-daerah gurun, dan dalam sebuah nubuat tentang keadaan Zion yang ditinggikan dan makmur di masa depan, pohon cemara bersama pohon sanobar dan berangan akan digunakan untuk membuat indah tempat suci Allah (Yesaya 60:13).

Karena itu,  menunjuk dari arti dan keberadaan pohon Sanobar dapat disimpulkan bahwa ia adalah pohon yang cukup tahan lama dan memberikan kesegaran ditengah-tengah kondisi dan cuaca yang tidak menentu.
 Jadi, kalau mau berilah nama anak Anda, gubung Anda atau kebun Anda yang indah dengan nama Sanobar. Itu pasti berkesan.