Apakah setiap
kali penutupan bulan, aku harus mengalami sesuatu yang dibilang, lucu, aneh,
sedih dan menggelitik hati ataupun memalukan? Atau ceritaku dibawah ini
merupakan suatu pengalaman atau kenangan yang mungkin tak terlupakan? Aku bahkan malu untuk mengingatnya kembali, bahkan
sampai kau tahu cerita inipun sungguh memalukan.
Kau bayangkan, pagi yang dingin di rumah Mirda, tempat aku menumpang
sementara, sementara tapi sudah hampir setengah tahun. Ibu memintaku untuk
tetap dirumahnya. Pagi yang membuat aku dan Mace teman sekamarku enggan untuk
turun dari tempat tidur. Tapi perut ini tidak bisa diajak kompromi, tuts-tuts
piano berbunyi mengimbangi rasa dingin yang terlalu menandakan perutku yang
keroncongan. Aku harus memilih, turun dari tempat tidur untuk mendapatkan makan
tapi dengan kedinginan atau tetap ditempat tidur yang hangat tapi lapar. Aku
tidak mau dua-duanya. Namun, wajah ibu Mirda terbayang-bayang, seperti melewati
kuburan dalam gelap, aku takut kepada ibu. Belum bekerja sudah cari makan, tapi
apa mestinya yang kukerjakan pagi itu. tak ada. Tapi... akh, sudahlah Ibu
biasanya marah kepada Mace, bukan kepada aku. Dalam kekalutan, dari dalam
selimut aku mendengar suara Mace “Lid,
aku lapar”. Setiap manusia diberikan pilihan nyata, ia harus memilih yang
paling memungkinkan untuk dilakukannya. Demikianlah aku pagi itu. Karena aku
takut lambungku sakit, aku bangun dengan tergesa-gesa, lalu turun ke lantai bawah, dalam kondisi lapar aku menuju ke Toilet, sekaligus memastikan apakah Ibu sudah berangkat
atau belum. Setelah
melihat Ibu sedang berias wajah untuk mengontrol
proyek-proyeknya, lalu kembali naik ke atas melintasi anak tangga dengan cepat.
Ya, ibu akan ke kantor pagi ini. Sesuai kebiasaannya, Ibu tidak akan sarapan, karena jadwal kerjanya yang padat dan hampir setiap malam Ibu
kembali ke rumah pk.22:00 wita. Ia
selalu sarapan di luar.
“Betapa sibuknya Ibu”. Aku bergumam, sambil melanjutkan menaiki anak tangga. Sedangkan di kamar aku temukan Mace dengan posisi yang berbeda, ia lagi tersenyum tanpa
menyadari kalau aku mengamatinya. Dari
senyumnya, seperti seorang
anak remaja yang sedang menemukan sebuah cintanya.
“Ada apa pagi-pagi senyum-senyum sendiri-sendiri?” tanyaku seperti orang aneh. Tanpa ragu Mace memperlihatkan SMS dari kekasihnya yang sedang merantau di Kota
Pahlawan-Surabaya itu. Aku baca, kata demi kata penuh dengan kemesraan (Pantas
aja, Mace sedang
kesetrum asmara). Dan bikin aku jadi kangen sama sang pangeran. . . (so cweet). Ya, karena
SMSnya bukan buatku, aku kembalikan HP sambil memegang perut yang sudah mengaduh dari pagi. Kenapa tidak diisi makanan sejak semalam? Marahku pada diriku sendiri. Andakaikan perutku
punya mulut, ia akan tertawa dan berkata “tugasku bukan untuk memberi tapi
menerima”. Iya tapi kau memberi isyarat kalau lagi lapar.
“Ce, aku lapar nih” kataku memelas seolah Mace juragannya. Memang benar sih, dirumah ialah
yang tukang masak, jadi wajarlah aku memberitahukan padanya. Ia tidak
menggubris perkataanku, ia lebih peduli kepada HP, seperti orang gila kepada
boneka kesayangannya. Akhirnya aku
membenarkan kalau orang sedang jatuh cinta, perutpun tidak dipedulikan. Kata orangtua dulu, sudah
kenyang dengan SMS dari si arjuna.
Melihat tingkah aneh si Mace, dan tak tahan lagi aku turun melewati
anak-anak tangga itu satu per satu tanpa memberikan efek suara kaki.
Pertama-tama aku melihat kursi depan cermin, ibu tidak ada lagi. Aku melihat
kamar mandi, pintu sudah tertutup dan lampu sudah mati, lalu aku melihat lampu
kamar ibu, yang juga sudah dimatikan. Memastikan semua aman, aku langsung ke dapur, “ternyata Ibu sudah berangkat ke kantor” pikirku..
“Wah, ada tempe, sambal,
perkedel jagung, telur. Nikmat
rasanya, aku makan lahap,
karena sudah kelaparan”.
Eh, ada suara kaki Mace turun dari lantai atas. Matanya
sudah melanglang buana ke dapur. Rupanya dia belum kenyang dengan SMS. Ternyata cinta tidak bisa bertahan lama
ya. Asal tahu saja, seperti seekor
anak itik takut kepada kucing, begitulah aku dan Mace takut kepada ibu. Ibu
tidak galak, tapi pada saat ia lapar dan tidak ada makanan ia akan marah, dan
mencari semua bahan makanan, memeriksanya entah untuk apa.
“Kalau tahu tidak ada yang masak, lebih baik uangnya untuk yang lain saja
daripada beli beras, dan ibu makan diluar”. Akh ibu, masih ada Erson dan Verna
anak ibu yang mau makan dirumah.
Pagi yang dingin itu, kami
putuskan untuk minum kopi, kebetulan Ibu tidak dirumah. Aku enggan jika ikut-ikutan ibu
minum kopi. Di rumahku, aku biangnya minum kopi, seberapa tamu yang
hadir ke rumah kami, sebanyak itu jumlah gelas kopi yang harus kuminum. Tanpa
ada yang melarangku, kecuali diriku sendiri. Jika kehabisan tepung kopi aku
paling malas untuk menggoreng dan mengayak. Tetapi disini, aku tidak tahu
kenapa enggan kepada Ibu Mirda. Bukan hanya aku, tetapi Mace yang sudah
bertahun-tahun tinggal di rumah Ibupun
enggan. Karena itu, berhubung Ibu sudah keluar, kami bebas menikmati keinginan
kami yang terbungkus rapi sejak di rumah Ibu.
Kami melihat, ada tepung kopi, gula dan di lemari ada roti. Makin nikmat, jika di suguhkan
pagi seperti ini. Apalagi sudah beberapa bulan tidak menikmati rasanya
kopi. Hampir lupa. Karena itu dengan semangat yang
tak biasa disertai rasa takut ketahuan Ibu, kami berbagi tugas. Sementara aku yang sudah ahli, membuat campuran
gula dengan kopi, sedangkan
Mace, sambil bersih2 rumah sekaligus ia memantau pintu rumah depan agar tidak ada “orang asing” yang masuk rumah apalagi Ibu. Biasanya adik Ibudatang
tiba-tiba dan selalu melaporkan ibu apa saja yang kami lakukan. Waktu menunjukan pk.09:10 wita. Satu hal yamg aku kami sama-sama
tidak tahu. Ternyata Ibu tidak langsung pergi proyek tapi ke bank terlebih dahulu. Kopi yang hendak
diminum, diletakan di atas meja.
Karena perasaan takut, tak di sangka pintu depan terbuka dengan sendirinya, tanpa suara pintu berbunyi, tapi firasatku buruk, lalu kuberikan isyarat
kepada Mace untuk memperhatikan siapa gerangan yang datang, sedangkan aku
mengintip lewat aquarium besar yang membatasi ruang depan dengan ruang belakang.
Kau juga pasti tak menduga ini kan? Mace dengan santainya membersihkan ruangan
bukannya menyambut Ibu malah lari ke dapur entah melakuan apa. Lalu ia kembali
ke ruang depan untuk memastikan siapa yang datang. Benar saja, Ibu yang kembali
ke rumah, entah untuk apa lagi. Tidak biasanya seperti ini. Karena itu, aku
kembali ke wastafel membersihkan beberapa piring kotor, aku perhatikan wastafel
penuh dengan bercak-bercak hitam, yang aku tahu kemudian adalah kopi. Setelah
tahu itu kopi, aku balik badan ke meja makan, lalu mataku mencari-cari dua
gelas kopi yang sudah kubuat. Tidak ada.
Akhirnya yang membuat aku ketawa terpingkal-pingkal adalah ternyata Mace yang spontan masuk
dapur, dan menumpahkan kopi-kopi yang sama sekali belum sempat dinikmati ke dalam washtafel. Gelas-gelas sudah tidak karuan lagi, kopi
udah tidak ada
lagi. Wah, gagal ni rencana!
“Memangnya Ibu marah, kalau
aku minum kopi? Masa ibu tega marah
kalau kopinya sudah dibuat?”, aku berpikir lama. Tidak mungkinlah, Ibu tak sekejam Ibu tiri. Kau tahu? Kalau sampai
Ibu tahu, Ibu akan sebeng terhadap kami, wajahnya seperti
kepiting rebus yang keriput dan pasti ada saja yang salah dengan pekerjaan kami di rumah. Akh, apakah aku terlalu menduga hal buruk itu?
aku tidak mengada-ada, sudah sering terjadi demikian. Kami lebih memilih untuk
tidak melihat kepiting rebus daripada apa adanya.
Ibu tidak menduga sama sekali, ia masuk ke kamarnya, setelah melihat
wilayah dapur sejenak. Lalu ia beristirahat beberapa menit. Belum sempat
menikmati tidurnya, Ibu pergi lagi setelah waktu
menunjukan pkl. 11:20 wita, mengurus proyek-proyeknya. Waktu ini menunjukkan
betapa kami sangat lapar. Dan aku kesal sekali pagi ini, kopinya sudah dibuang, toh Ibu
juga tidak masuk
dapur. Dari sini aku belajar hidup
apa adanya, kalau suka jawab ‘ya’, kalau tidak suka jawab ‘tidak’. Hanya ada
dua hal ini.
Setelah Ibu pergi, kami bebas untuk berkreasi karena Ibu tidak mungkin
untuk balik lagi. Mace kembali lagi ke dapur untuk buat
telur mata sapi, sambil senyam senyum, menceritakan kisah hubungannya dengan
kekasihnya itu. Ia mengambil dua lembar roti tawar, pas buat kami berdua. Dia goreng
telur dan aku mengolesi mentega roti itu dan siap dipanggang. Karena
kejadian kopi yang gagal, pintu tak
lupa kami kunci, jadi kalau ada yang datang tidak langsung melihat apa yang kami lakukan, minimal ada persiapan atau ancang-ancang. Saat aku tertawa dengar
cerita cintanya
Mace, Ibu sudah di samping meja makan dan mengeluarkan pertanyaan, buat apa kalian? Tatapannya seperti anak panah yang dibidik ke
sebuah sasaran. Dan akulah sasaran itu. belum sempat membalas ibu sudah buru masuk
ke kamar.
“Ce, ibu datang” bisikku kepada Mace. Saking ia kaget, ia matikan kompor
sementara telur belum matang sebelah. aneh. Ia lalu sedikit teriak tapi suara
berbisik.
“Buang buang buang”
“Apanya mau dibuang?”. Belum tahu apa maksudnya sudah terdengar suara ibu memanggil Mace. Dari jenis
nada suara yang dia gunakan, sepertinya ibu tahu apa yang sedang kami
perbincangkan.
“Eh. . buang buang... sampahnya”. Katanya sambil menunjuk-nunjuk roti dan selai
ditanganku. Setahuku itu akan dibuang ke perut bukan ke tempat sampah. Akh,
Mace ada-ada saja. Tapi dengan gerakan lincahnya ia membuang roti itu di atas
kulkas. Yakin tidak ada yang tahu, Mace berlari menuju ke kamar Ibu. Belum
sempat bertindak, ibu sudah keluar dari
kamar, ia
lalu buka kulkas (rotinya kan di atas kulkas, wah bisa
ketahuan ni, waduh gimana donk. . please).. Syukuuuur. . . ibu
Cuma mengambil minuman dingin.