Wednesday, July 3, 2013

Kau Cinta Aku?



Menangis dalam tawa. Mungkin itu istilah yang tepat untuk menggambarkan kisah hidupnya. Dia mencintai seorang pria yang tampan, Manis dan senyum yang biasa tapi membuat jantung berdetak bertubi-tubi. Kulitnya hitam manis, ia sangat mirip dengan Hengky Kurniawan. Pujian itu muncul lewat senyumnya setiap kali bertemu dengan Joan. “Dia juga mencintaiku. Dia rela mendayuh sepedanya untuk sampai di kostku. Dan menghabiskan waktunya untuk bercerita denganku”. Itulah alasan Dina tetap menyimpan cintanya buat Joan. “Dia sudah sesuai dengan kriteriaku. Dia pujaanku. Mendengar namanya saja jantungku berdetak lebih kencang. Aku yakin sekali dia tepat buatku, aku harus perjuangkan”. 

Siapa yang tidak kenal pria ganteng itu. Dia punya banyak teman, yang selalu hadir bersamanya saat ke kost Dina. Mereka mendayuh sepeda saat matahari mulai kembali ke tempat peraduannya. Joan. begitulah nama pria yang menggetarkan hati Dina setiap mengingat atau mendengar namanya.
Keyakinan Dina begitu kuat untuk mendapatkan Joan, dan berharap Joan menjadi orang yang akan mendampinginya sampai semua rambutnya beruban, sehingga tidak ada lagi alasan untuk berpisah. 

“Aku tidak akan membiarkan dia direnggut oleh siapapun dan apapun. Sekalipun dia belum menyatakan cinta padaku, semua itu sudah terbaca dari raut wajahnya, caranya menatapku, bercerita dan tertawa bersama dengan puas. Kerinduanku, satu sore di bawah pohon kenari, sambil memandang sunset, Joan mengucapkan satu kalimat untukku. Satu kalimat yang akan membuatku tidak berdalih untuk menolaknya. “Dina, kamu tahu ‘kan apa yang ada di hatiku selama ini?”, Apa itu? “Din, aku selalu berusaha mendapatkan cinta sejatiku, cinta yang tidak hanya membuatku bahagia, tetapi sukacita. Selamanya. Aku Cinta kamu Din”. Mungkikah khayalan Dina ini menjadi awal dari sejarah cintanya? Mungkinkah Joan yang akan mengukir sejarah cinta pertamanya?
Joan aku tahu, mungkin kau meragu untuk mengatakan cinta padaku. Mungkin kau menyimpan sejuta Tanya dalam hatimu tentangku yang belum pernah kau tanyakan. Aku menunggumu. Kau tidak dapat terus menyembunyikannya di balik bilik jantungmu, sebab melihatmu, ada cinta untukku yang masih sulit kau ucapkan.
Kau harus tahu, saat aku bertemu denganmu bahkan menyebut namamu saja, Joan, hatiku sangat sakit sehingga ku ingin berteriak memanggil namamu, karena terlalu besar cinta yang aku simpan untukmu.

Suatu hari bertemu denganmu, dengan senyum yang khas. Aku melihat sejuta kata cinta yang ingin kau utarakan. Katakan saja sesuatu untuk meyakinkanku, bahwa kau juga merasakan cinta yang sama seperti yang kurasakan, jangan ragu padaku, aku mencintaimu Joan. Sepertinya kau tidak pernah menghiraukan perasaanku, sekalipun di raut wajahmu menampakkan benih-benih cinta, tapi kenapa terlalu sulit untuk berbisik, kau mencintaiku??

Waktuku habis untuk memikirkanmu. Hari-hariku sudah penuh dengan titik-titik cinta yang ku taburkan demi namamu, demi sebuah asa yang akan kugapai bersamamu, hidup berdua selamanya. Mungkin terlalu cepat aku jatuh cinta padamu, tidak sanggup kumenyembunyikan rasa dihatiku. Kuharap kaupun demikian. Tetapi ku mengalami dilema, memberitahumu tentang perasaanku memang adalah kehinaan bagi seorang gadis. Tak punya harga diri untuk menyatakan betapa aku mencintaimu. Tetapi terlalu sakit bagiku untuk tetap menyimpannya rapat di ruang kalbuku, sehingga kaupun tidak dapat membacanya”. Begitulah Dina terus berbicara dengan dirinya sendiri seakan-akan Joan berada disisinya, mendengarkan semua curahan hatinya.

“Sepanjang hari kumemikirkannya, tak pernah ada rasa ini sebelumnya. Begitu berat perasaanku padanya, perasaan takut dan rasa rindu berpadu begitu kuat sehingga aku menjadi lemah dan tak berdaya melawan perasaanku. Hari ini, dirinya merasuk begitu hebat sampai ke ruang anganku, menembus sumsum tulangku. Aku mencintainya.
Sebenarnya aku tidak berani menuliskan ini. Sesungguhnya aku malu pada diriku sendiri, dan tidak pernah bermimpi, seorangpun akan tahu tentang perasaanku ini. Namun aku jujur. . . aku ingin mengatakan yang sejujurnya, apa adanya padamu, tapi tidak tahu bagaimana harus  mengatakannya dan tidak mungkin melakukannya sekalipun kutemukan caranya. Aku cinta kamu”

Aku mau berdiam diri, tetapi tidak mungkin, karena begitu kuat rasa ini merobek tirai kalbuku ‘tuk merindukannya. Aku ingin menepis bayangannya, tapi ia terlalu nyata untukku sehingga tak mungkin aku mencoba berdusta. Aku ingin menjauhinya, itu mustahil aku lakukan, karena terlalu sakit aku mengenangnya. Lebih baik bertahan dengan rasa di hatiku meski tak pernah ada jawaban untuk retorika tersembunyi yang hanya menjadi harapku. Tak ada yang dapat aku lakukan, selain datang, duduk di sisimu dan berkata: “Aku takut kehilanganmu. Aku sakit bila engkau pergi. Kau tak pernah bertanya padaku, cintakah aku padamu. Kau cinta aku?”.

No comments: