Menangis
dalam tawa. Mungkin itu istilah yang tepat untuk menggambarkan kisah hidupnya. Dia
mencintai seorang pria yang tampan, Manis dan senyum yang biasa tapi membuat
jantung berdetak bertubi-tubi. Kulitnya hitam manis, ia sangat mirip dengan Hengky
Kurniawan. Pujian itu muncul lewat senyumnya setiap kali bertemu dengan Joan. “Dia
juga mencintaiku. Dia rela mendayuh sepedanya untuk sampai di kostku. Dan
menghabiskan waktunya untuk bercerita denganku”. Itulah alasan Dina tetap menyimpan
cintanya buat Joan. “Dia sudah sesuai dengan kriteriaku. Dia pujaanku. Mendengar
namanya saja jantungku berdetak lebih kencang. Aku yakin sekali dia tepat
buatku, aku harus perjuangkan”.
Siapa
yang tidak kenal pria ganteng itu. Dia punya banyak teman, yang selalu hadir
bersamanya saat ke kost Dina. Mereka mendayuh sepeda saat matahari mulai
kembali ke tempat peraduannya. Joan. begitulah nama pria yang menggetarkan hati
Dina setiap mengingat atau mendengar namanya.
Keyakinan
Dina begitu kuat untuk mendapatkan Joan, dan berharap Joan menjadi orang yang
akan mendampinginya sampai semua rambutnya beruban, sehingga tidak ada lagi
alasan untuk berpisah.
“Aku
tidak akan membiarkan dia direnggut oleh siapapun dan apapun. Sekalipun dia
belum menyatakan cinta padaku, semua itu sudah terbaca dari raut wajahnya,
caranya menatapku, bercerita dan tertawa bersama dengan puas. Kerinduanku, satu
sore di bawah pohon kenari, sambil memandang sunset, Joan mengucapkan satu kalimat
untukku. Satu kalimat yang akan membuatku tidak berdalih untuk menolaknya. “Dina, kamu tahu ‘kan apa yang ada di hatiku
selama ini?”, Apa itu? “Din, aku
selalu berusaha mendapatkan cinta sejatiku, cinta yang tidak hanya membuatku
bahagia, tetapi sukacita. Selamanya. Aku Cinta kamu Din”. Mungkikah
khayalan Dina ini menjadi awal dari sejarah cintanya? Mungkinkah Joan yang akan
mengukir sejarah cinta pertamanya?
Joan
aku tahu, mungkin kau meragu untuk mengatakan cinta padaku. Mungkin kau
menyimpan sejuta Tanya dalam hatimu tentangku yang belum pernah kau tanyakan. Aku
menunggumu. Kau tidak dapat terus menyembunyikannya di balik bilik jantungmu,
sebab melihatmu, ada cinta untukku yang masih sulit kau ucapkan.
Kau
harus tahu, saat aku bertemu denganmu bahkan menyebut namamu saja, Joan, hatiku
sangat sakit sehingga ku ingin berteriak memanggil namamu, karena terlalu besar
cinta yang aku simpan untukmu.
Suatu
hari bertemu denganmu, dengan senyum yang khas. Aku melihat sejuta kata cinta
yang ingin kau utarakan. Katakan saja sesuatu untuk meyakinkanku, bahwa kau
juga merasakan cinta yang sama seperti yang kurasakan, jangan ragu padaku, aku
mencintaimu Joan. Sepertinya kau tidak pernah menghiraukan perasaanku,
sekalipun di raut wajahmu menampakkan benih-benih cinta, tapi kenapa terlalu
sulit untuk berbisik, kau mencintaiku??
Waktuku
habis untuk memikirkanmu. Hari-hariku sudah penuh dengan titik-titik cinta yang
ku taburkan demi namamu, demi sebuah asa yang akan kugapai bersamamu, hidup
berdua selamanya. Mungkin terlalu cepat aku jatuh cinta padamu, tidak sanggup
kumenyembunyikan rasa dihatiku. Kuharap kaupun demikian. Tetapi ku mengalami
dilema, memberitahumu tentang perasaanku memang adalah kehinaan bagi seorang gadis.
Tak punya harga diri untuk menyatakan betapa aku mencintaimu. Tetapi terlalu
sakit bagiku untuk tetap menyimpannya rapat di ruang kalbuku, sehingga kaupun
tidak dapat membacanya”. Begitulah Dina terus berbicara dengan dirinya sendiri
seakan-akan Joan berada disisinya, mendengarkan semua curahan hatinya.
“Sepanjang hari kumemikirkannya,
tak pernah ada rasa ini sebelumnya. Begitu berat perasaanku padanya, perasaan
takut dan rasa rindu berpadu begitu kuat sehingga aku menjadi lemah dan tak
berdaya melawan perasaanku. Hari ini, dirinya merasuk begitu hebat sampai ke
ruang anganku, menembus sumsum tulangku. Aku mencintainya.
Sebenarnya aku tidak berani
menuliskan ini. Sesungguhnya aku malu pada diriku sendiri, dan tidak pernah
bermimpi, seorangpun akan tahu tentang perasaanku ini. Namun aku jujur. . . aku
ingin mengatakan yang sejujurnya, apa adanya padamu, tapi tidak tahu bagaimana
harus mengatakannya dan tidak mungkin
melakukannya sekalipun kutemukan caranya. Aku cinta kamu”
Aku mau berdiam diri, tetapi tidak
mungkin, karena begitu kuat rasa ini merobek tirai kalbuku ‘tuk merindukannya.
Aku ingin menepis bayangannya, tapi ia terlalu nyata untukku sehingga tak
mungkin aku mencoba berdusta. Aku ingin menjauhinya, itu mustahil aku lakukan,
karena terlalu sakit aku mengenangnya. Lebih baik bertahan dengan rasa di
hatiku meski tak pernah ada jawaban untuk retorika tersembunyi yang hanya
menjadi harapku. Tak ada yang dapat aku lakukan, selain datang, duduk di sisimu
dan berkata: “Aku takut kehilanganmu. Aku sakit bila engkau pergi. Kau tak
pernah bertanya padaku, cintakah aku padamu. Kau cinta aku?”.
No comments:
Post a Comment