Salahkah aku terus menyembunyikan ini? Tidak ada yang tahu,
sekalipun mereka tahu manusia tidak ada yang luput dari dosa, tetapi mereka
tidak tahu di kedalaman hati sesamanya apa yang tengah terbalut tawa.
Mereka tahu bahwa masalah yang ada sekarang adalah kesalahan dua
orang, kebetulan saya memergoki mereka dan kemudian menyingkapkannya. Mungkin
setan yang memberi dorongan supaya aku menyaksikan kebobrokan mereka. Atau Tuhan
yang mengijinkan aku melihat? Sementara aku, bukanlah aku sendiri yang
menginginkan hal itu, melihat suatu bukti yaitu kesengajaan yang mereka
ungkapkan selama ini adalah kekeliruan, kekhilafan dan sejenisnya tapi sekarang
terbukti bahwa selama ini kami salah dengan mudahnya percaya kata mereka, dan
itu bukanlah kekhilafan sehingga kami perlu bilang igtifar, tapi sekarang itu adalah kesengajaan di kamar yang sunyi,
berduaan, pria dan wanita dan memperlihatkan aksi yang tak senonoh dan yang aku
bilang tadi aku tidak sengaja melihatnya dan sekarang setelah kami tahu kami
perlu bilang kurang ajar.
Walaupun mereka berusaha mengelak, bahwa kejadian itu tidak seperti
yang aku saksikan. Mereka mulai menyalahkanku. Jangan berprasangka buruk. Yang kamu
lihat tadi tidak seperti yang kamu pikirkan sekarang. Aku tahu apa yang kamu
pikirkan. Kamu pikir kami pasti macam-macam kan di kamar tadi. Tidak. Tidak.
Aku benar. Tidak seperti yang kamu pikirkan.
Dari mana mereka tahu apa yang aku pikirkan? Bukankah mereka telah
berprasangka buruk terhadap aku? Meskipun memang benar aku telah berprasangka
terhadap mereka. Tapi itu prasangka yang benar. Karena kejadian ini telah
terulang kesekian kalinya, maka aku tidak perlu berdebat lagi dengan dia,
mereka atau pikiranku mana yang betul.
Akhirnya salah satu diantara mereka mengakuinya. Mengakui pikiranku.
Apa yang aku pikirkan tentang kejadian di kamar itu memang benar. Dan aku tak
perlu lagi menyalahkan mereka mengapa mereka berbohong karena sebelumnya aku
sudah tahu bahwa mereka berusaha membela dirinya. Kata mereka, aku yang
prasangka buruk. Kami tidak berbuat seperti yang engkau pikirkan. Iya benar
mereka tidak berbuat seperti yang aku pikirkan karena mereka buat menurut apa
yang mereka pikirkan dan itu yang aku lihat.
Karenanya saya sangat benci dengan laki-lakinya. Karena dia yang
mendominasi segala kebohongan yang dia ukir di pikiran wanita itu supaya mereka
satu kata, satu kata: dusta.
Setelah bertahun-tahun hal itu terjadi aku tetap menyimpan benci kepada
laki-laki itu. Karena ia yang sekian kali berbohong. Oleh karena kekesalan di
hati, hari itu aku tidak bisa makan, perasaanku gundah gulana, bak permaisuri
ditinggal pergi oleh sang raja untuk pertempuran tujuh hari tujuh malam. Sekalipun melihat wajahnya aku mual, ditambah
lagi pengontrolan yang ketat dari beberapa teman, menambah rasa sesak didada.
Sore itu aku benar-benar benci, kekesalanku memuncak sampai-sampai semua orang
aku salahkan. Aku masuk kamarku, kunci kamar, berdiam diri, memeluk bantal,
mematikan lampu kamar, menyalakan lilin, lalu menutup mata untuk melakukan
kontemplasi berharap ada sukacita dan damai sejahtera melingkupiku semenjak
lampu kumatikan. Aku berteriak kepada Tuhan dalam hati. Apa salahku sehingga
aku yang menderita? Aku tidak suka dan aku capek dengan situasi ini Tuhan.
Benar-benar capek. Maafkan aku. Lebih baik aku tidak melihat apa saja yang
mereka lakukan, daripada aku melihat dan membuat aku tersesak. Membuat aku
melarat bagai yatim piatu kelaparan menanti sang ibu memeluknya. Tuhan kenapa
dia harus berbohong lagi? Bukankah aku ini wanita dewasa yang seharusnya tahu
apa yang tiap lelaki coba untuk sembunyikan atas kekonyolannya? Kalau mereka
suami istri, tidak seperti ini yang aku rasakan. Kalau mereka pasangan kekasih,
tak begini pergumulanku melawan pikiranku. Tapi dia suami orang.
Kontemplasiku berakhir dengan satu kesimpulan. Aku tetap
membencinya. Aku tidak bisa melupakan kenapa dia harus membohongi aku. Apakah
dia pikir aku ini gadis cilik tak berpengetahuan? Aku tetap mengingatnya. Walaupun
beberapa hari setelah kebohongannya dia mengaku salah dan berjanji takkan
melakukannya lagi. Sekian kali aku bertemu dengannya, aku membangun batas
pikiran untuk menjauhkan diri darinya. Membatasi diri sebagai wanita. aku
membangun batas itu sama tingginya saat pertama kali aku membangunnya. Menjauh,
sejauh yang aku mampu. Sampai waktu menentukan apa yang harus aku lakukan.
Teman-teman yang tahu apa yang terjadi dengan diriku, membencinya
dan ogah bertemu dengan dia mereka melontarkan banyak tanya, ada apa gerangan
mukaku muram? Apa arti statusku di facebook?
Aku ingin memulainya. “Aku tahu aku juga manusia berdosa”. Tapi
rasanya itu tidak tepat, untuk apa aku
melukiskan diriku, mereka juga tahu. Lalu aku berpikir kalimat yang lebih cocok
“aku bingung, harus ngomong apa”, tapi sebenarnya sudah jelas apa yang aku
alami namun terlalu sulit untuk menjelaskannya kembali. Mungkin to the point saja “aku benci sekali
dengan laki-laki itu, aku muak lihat mukanya”, namun mereka semua sesungguhnya
sudah tahu kalau aku yang paling muak, karena saat pertama kali melihat mereka berduaan
aku tersentak, malu dan gemetaran, semua kebohongan terbukalah sudah. Dan untuk
memulai kenapa aku begitu muram, tidak mungkin lagi mengulang kata yang sama
dan akhirnya nanti membuat mereka juga muak, seperti aku.
Aku memang harus cerita. Aku tidak mau menanggung sendiri rasa ini.
Aku ingin legah. Walaupun rasanya aku lebih legah kalau tidak melihat laki-laki
itu, laki-laki yang sudah kukenal sejak 9 tahun yang lalu. Dan menjadi teman selalu
tertawa saat aku melawak. Begitulah kebanyakan teman-temanku menggodaiku dan
menertawakan kelucuanku yang kadang tidak lucu, apalagi melihat wajahku yang
muram ini, ingin cerita tapi tidak tahu harus memulainya darimana lalu mereka
semua bersama-sama menertawakanku dan akupun ikut tertawa hahaha..
No comments:
Post a Comment