Thursday, June 20, 2013

Ayahku, Idolaku

Usiaku sudah seperempat abad. Usia yang cukup matang, pikiran penuh dengan problematika, tentang pekerjaan, keluarga, teman, calon pengganti pacar, menulis, berkarya, kursus, menggemukkan badan, mengatasi kemarahn, lebih dewasa dan disipilin. Itu semua ada dalam pikiranku. Pikiran bergulat dengan perasaan, akankah semua asa akan jadi nyata. Tapi ada satu hal yang tidak pernah terlintas dalam bayanganku. Memikirkannyapun tidak pernah apalagi berharap. Itu tentang ayah. Ayahku memang bukan seorang ayah ideal, aku juga tidak tahu seperti apa seorang ayah ideal, tapi ia cukup menjadi idola bagiku. Ayah cukup kubanggakan. Ayah di kagumi bukan hanya dalam keluarga. Mungkin bukan hanya kagum tapi juga segan, bahkan anak-anak pamanku segan terhadap ayah. Sekali lagi aku cukup membanggakannya terlepas dari semua yang akan dilakukannya.
Memang adakalanya bahkan seringkali aku takut atau enggan bicara dengan ayah. Paras ayah terlihat sedikit galak, dipadukan dengan tingginya rasa humornya, kelemahannya tertutupi. Ia pintar berkelakar. Kebangganku terhadapnya, tidak bisa buatku gampang mengutarakan isi hatiku atau meminta. Saat aku kelas tiga SMA, aku harus melunaskan biaya pendidikan yang sudah aku tunggak karena enggan bicara dengan ayah. Tetapi hari ini aku dilemma, harus bicara dengan ayah atau aku dipulangkan bagian adminstrasi sekolah.. aku harus bicara. Aku malu untuk pulang, lebih buruk akibatnya aku pulang daripada aku meminta uang kepada ayah. Enam puluh Ribu Rupiah. Ayah memang hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR), tetapi sepertinya manajemen ayah sangat bagus, bukan merendahkan tapi sekolah rakyat tidak mendapat pelajaran Manajemen, kecuali kali bagi tambah kurang. Sehingga uang akan keluar, ayah harus tahu persis untuk apa dan berapa jumlah sebenarnya, waktu itu ayah juga tidak mencatatnya, apa mungkin itu karena pelitnya ayah, aku tidak berani mengatakannya Sekalipun endingnya ayah tidak bersedia memberikan uang, memberikan omelan atau menunda hari untuk memberikannya, mungkin ada pengeluaran lain.

Aku pasti mendapat ocehan karena menghamburkan uang, padahal kalian tahu aku belum menerima uang dari ayah, ayah mengingat uang yang diberikannya untuk membayar cicilan biaya pendidikanku yang pertama. Tetapi bagaimanapun sakitnya aku di omel, aku butuh uang hari ini. Waktuku menunggu tinggal 15 menit ke Sekolah sementara aku harus menempuh perjalanan ke Sekolah, 20 Menit kalau jalan kaki 40km/jam, dan itupun berarti aku telat 5 menit Tidak hanya ayah yang marah. Nenekku memang selalu menyandang gelar provokator terbaik di rumah. Sikap nenek yang provokatif sebenarnya akan membuat ayah naik pitam, dan berdiri untuk memukul siapa yang sudah dianggapnya bersalah. Satu kebenaran yang salah bagi nenek di padukan dengan kebenciannya kepada siapa saja, jadilah kebohongan untuk memprovokasi ayah. Seiring dengan itu airmataku beku dan segera mencair. Tetapi ayah tetap pada suhu awalnya, kurang lebih kara-kata nenek tidak membuat ayah semakin marah. Lain dengan ibuku. Ia selalu diam saat ayah marah kepada anak-anaknya. Ibu bicara seperlunya. Dan pagi itu, saat ayah marah, ibu hanya berkata sambil membereskan piring-piring kotor: “Sudahlah pa, memang cicilannya belum selesai. Di berikan saja, kenapa harus di omel terus. Sudah telat sekolahnya.”

Kata-kata ibu laksana embun di pagi hari bagi hati yang panas. Aku akui, Ayah dan Ibu memang pasangan yang unik dan patut di teladani. Aku memimpikan keluargaku kelak, aku mengambil Ibu sebagai contohku yang baik. Dan bagi ayah, kata-kata ibu itu bagai di hipnotis sekejab, lalu berkata: “ambil uang di lemari”. Kalau dari tadi kan aku tidak telat. Tapi tidak masalah, lebih baik daripada dipulangkan. Dari peristiwa ini, aku mulai hafal kapan dan cara bagaimana aku harus bersikap pada ayah, aku mulai berpikir untuk mencari perantara anata aku dan Ayah Kak Sammy, satu-satunya kakakku cowok. Ia pendiam, humoris seperti ayah, dan sangat cocok denganku yang juga humoris. Ia gemuk, tinggi apa adanya, rambutnya gondrong. Melihat diapun sudah lucu. Kedekatanku dengan kak Sammy tidak ku peralat, tapi ia selalu menjadi jembatan untukku kepada ayah. Dengan mengedipkan mataku, kak Sammy tahu saatnya ia untuk bicara dengan ayah. Aku bangga dengan kak Sammy dan Ibu, mereka bicara seperlunya tapi tepat sasaran. Terhadap ayahpun aku semakin bangga. Setelah aku kuliah dan mengambil jurusan Akuntansi. Baru aku sadar kalau sikap ayah selama ini mengajarku untuk tidak menjadi anak gampangan. Prinsip ekonomis ayah ada baiknya, tapi tidak untuk saat-saat terdesak dengan biaya sekolah. Semakin banyak uang, semakin kevil kemungkinan untuk berbagi dengan orang lain. Karena mungkin bertambahnya ada kebutuhan yang bertambah, yang sebenarnya kalau tidak ada uangpun kebutuhan itu tidak di realisasikan. Ya, pada waktu aku duduk kelas tiga SMA, ayahku menjadi orang ke-2 di Kotaku, saat panen raya fanili. Sepupu aya menjadi orang pertama. Harga Fanili melonjak tinggi sampai Rp. 350.000,-/kg. Ini tidak pernah kami sangka. Kerjasama kami harus baik untuk mendapatkan buah fanili yang banyak, karena butuh tenaga untuk mengawinkan kuntum-kuntumnya untuk menghasilkan buah. Pada saat yang sama, maling semakin merajalela. 

Setiap malam ayah berpenampilan seperti prajurit dari Yunani Kuno siap mempertahankan hasil fanili. Perisai, ketopong, sabuk, sepatunya tidak ketinggalan. Akhirnya ayah berhasil mendapat 398kg Fanili dan beda sedikit dengan sepupunya. Bagi petani seperti ayahku, jumlah ini menakjubkan. Tidak diduga. Ayah mulai menghitung pemasukannya usai panen raya. Kamipun sibuk menghitung pemasukan kami, dari hasil penjualan di luar penjualan ayah. Tidak terlalu banyak, tapi menguntungkan. Di antara anak-anak ayah, aku yang paling beruntung, sejak penjualan fanili, ayahku memang kaya mendadak. Kenapa aku beruntung? Karena ayah akan berbagi denganku. Kenapa demikian? Iya, satu hari setelah panen, aku lulus dari SMA, ayahku menawarkanku untuk melanjutkan studi. Tidak semua anak ayah mendapat kesempatan sepertiku, bukan salah ayah. Kakakku yang pertama, dilamar saat hendak melanjutkan studinya usai lulus SMA. Kak Sammy, memilih untuk memanjakan rasa malunya, setelah terjadi kerusuhan antar suku di Kota, dan sekolahnya mendapat ancaman serius. Ia malu melanjutkan studi di SMA lain. Kak Marry, sepertinya tidak mau melewatkan SMA dan ia memilih untuk menjadi lulusan SMP. Sedangkan aku, punya sedikit ambisi untuk menjadi seorang Mahasiswa, berniat untuk kuliah di UGM, yang akhirnya tidak seperti niat, mimpi terwujud bukan di Djogdja. Dan aku jadi kebanggaan ayah, sebagai satu-satunya anak yang melanjutkan studi, mau menyenangkan orangtua. Akupun membanggakan ayah karena mau mengantarku ke dunia kampus. Seiring dengan hatinya yang senang, ia rutin mengirimkanku uang kos, SPP, uang makan yang sebagian aku sisikan untuk membeli pakaian. Memang ayah masih seperti dulu, untuk kegunaan apa aku minta uang. Tak perlu menjelaskan panjang lebar. Menjawab seperlunya sesuai kebenarannya. Kalau perlu aku akan mengirimkan catatan penggunaan uang sebelumnya. Tidak jarang aku minta lebih untuk sekedar membeli sepatu untuk olahraga, atau membeli baju baru. Ayah mengerti, karena aku jujur, iapun memberikan tambahan Rp. 100.000,- atau lebih. Semakin banyak semester yang aku lalui, tabungan ayahku malahan semakin berkurang. Semenjak aku meninggalkan rumah, orang silih berganti menginjakkan kakinya ke rumah, bahkan mereka yang tak pernah aku lihat sebelumnya untuk apalagi kalau bukan untuk merayu ayah untuk meminjamkan uang. Entah karena belas kasihan karena melihat rupa mereka yang lesu dan keluhan yang lemah, atau karena bunga pinjamannya yang ayah kenakan besar dengan mudahnya ayah menuju ke Bank untuk menarik tabungannya dan meminjamkan kepada mereka. Perjanjian enam bulan lunas tidak pernah ditepati mereka. Membayangkan repotnya ayah menolong mereka, sudah merepotkan. Demikianlah mereka selalu berjanji, janji dan janji. Tak pernah tepat waktunya kapan kejahatan itu akan terjadi. Hanya TUHAN yang melihat rancangan hati manusia. Apa hubungannya dengan kuliah? Mendengar ayah mengeluhkan tingkah para peminjam uang itu, harapan adikku untuk kuliah semakin suram. 

Dan aku, satu bulan lagi akan di wisuda. Sebelumnya Aya mengingatkanku kalau aku menambah semester lagi uang sudah habis. Kabar tentangku, memberikan sedikit angin segar buat ayah. Sekejab ia bisa melupakan kelelahannya menagih utang. Dan aku semakin senang, apabila ayah, ibu datang mendampingiku saat aku mengenakan toga, dan kupersembahkan kebahagiaanku itu untuk TUHAN dan orangtuaku. Saat-saat ini saat yang buat ayah geram karena uangnya tidak kembali. Ayah menguras tabungannya untuk membayar pendaftaran wisudaku. Tanggal 21 september 2006 aku resmi menjadi alumna Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi. Ayah mengirimkanku uang, sebanyak untuk pendaftaran wisuda. “Itu yang terakhir”, kata ayah. Dan untuk rias wisudaku? Foto? Aku gunakan sisa tabunganku. Dan ayahpun tidak hadir dalam wisudaku. Aku didampingi pamanku. 

Mataram, 2-3 Januari 2011.

No comments: